Selasa, 20 April 2010

Biola “Pearl River” ( bagian 1) : The Broken Violin

Saya dikaruniai amanat 2 (dua) orang titipan Tuhan, seorang putri dan seorang pangeran. Berikut adalah sedikit kisah mengenai sang Putri.
Sang putri bertipe tak mudah menyerah jika menginginkan sesuatu. Dia rela dan tak putus asa jatuh bangun saat belajar sepatu roda, sampai pada akhirnya bisa menguasainya. Tiga hari berturut-turut pantang menyerah belajar naik sepeda dan hari ke tiga langsung lancar bersepeda. Itu merupakan dua contoh dari kegigihannya. -----contoh yang terakhir adalah dia akan merengek terus jika menginginkan sesuatu dari orangtuanya-----. Ya, namanya usaha…meskipun pada akhirnya belum tentu dituruti…

Tidak tahu asal muasalnya, tahu-tahu sang putri gandrung banget yang namanya biola. Padahal selama ini tak pernah menunjukkan gelagat minat terhadap benda ‘ringkih’ itu. Dengan berbagai jurus mautnya dia meminta mama-papanya mengikutkan les biola. Akhirnya saya dan suami menuruti dengan berbagai pertimbangan. Kebetulan pada saat itu tempat belajar musik langganan keluarga kami lagi diskon 50% untuk biaya pendaftaran. Wah, ini rezeki alias nasib baik benar-benar berpihak pada sang putri, pikir saya, maksudnya lesnya diridhoi olehNya. Karena pendaftaran telah dilakukan akhir bulan, otomatis lesnya akan dimulai bulan depannnya. Walaupun ternyata mulai bulan depannya biaya bulanan les naik 10% dan minggu pertama masuk tanggal merah, yah dijalanin aja. Karena sang putri sudah kebelet sekali.

Saking kebeletnya, les belum dimulai sudah kepingin dibelikan biola. Setiap pergi ke toko buku Gramedia, selalu minta diantarkan melihat biola. Tapi kami belum menuruti. ---Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Minggu kedua adalah hari pertama masuk les. Dia tak bisa menyembunyikan kegembiraannnya. Semangat sekali saat saya jemput di sekolah. Saat saya datang, sudah siap pergi. Biasanya saya harus menunggu beberapa saat karena dia masih ngerumpi dengan sang BFF --- Best Friend Forever--- (istilah dia buat sahabat –sahabat terdekatnya) . Pukul 17.00 saya sudah parkir di depan tempat kursusnya. Setengah jam lagi kelas biola akan dimulai. Sang putri langsung menuju kelas. 30 menit telah lewat. “Kok cuma sebentar” protesya kepada sang guru. “Wah…ini namanya bener-bener suka” kata sang guru. “Semoga----semoga---“ pikir saya. Bukan apa-apa, cuma takut kalo terlanjur investasi ternyata belum 3 (tiga) bulan sudah bosan, kan benar-benar tidak efisien ---- Manajer Keuangan tahunya effisien…dan effisiensi…he.. he..

Sepulang kursus dia langsung menagih dibelikan biola. Kami masih menyanggupinya. Dasar sang putri yang ‘pantang menyerah’, setiap menit, setiap ada kesempatan dia selalu menagih dengan alasan segera buat latihan. Akhirnya sayapun menyerah karena sudah tidak tahan ditagih - tagih, keesokan harinya langsung mengantar sang putri ke toko. Untung sebelumnya saya sudah tanya-tanya sama sang guru. Dan beliau sudah merekomendasikan merk dan toko biola yang paling optimal bagi sang putri. Kata beliau toko tersebut adalah pemasok yang harganya bisa lebih murah cukup signifikan dari penjual lainnya.

Karena saya dan suami sangat awam yang namanya biola, bahkan untuk memilih saja tidak bisa. Kami mempercayakan sales toko yang memilihkan. Konon, katanya, pertama kali yang dilihat adalah kayu kecil yang didalam biola jangan lepas karena itu yang berpengaruh pada resonansi. Yang kedua baru dilihat secara fisik luarnya. Setelah melakukan transaksi pembayaran, sang putri sudah bisa membawa pulang sebuah biola ukuran ¾ dengan merk “Pearl River”. Masih katanya sang guru juga… merk ini sudah lumayan untuk pemula seperti sang putri.

Ada 2 (dua) pesan dari sales toko yang selalu saya ingat. Bu, biolanya jangan dilap pake lap basah ya…karena lem bodinya khusus dan tidak bisa kena air, juga hati-hati biolanya jangan sampai jatuh.. Pesan ini selalu saya sampaikan kepada yang empunya, supaya dia selalu menjaga barang kesayangannya. Apalagi sang pangeran ikut penasaran dengan barang itu. Sang pangeran suka curi-curi kesempatan untuk menggeseknya dan lebih parah lagi alat penggeseknya juga dipakai main pancing-pancingan. OMG……

Satu minggu telah berlalu. Hari itu pertemuan les biola ke 2 (dua). Sang putri sudah dapat menenteng biola ke kelasnya. Selepas pertemuan dengan sang guru, dia membawa pulang selembar kertas bertuliskan beberapa not balok untuk latihan di rumah. Begitu masuk rumah dia langsung memainkan PR yang didapat, meskipun secara awam hanya terdengar “ngiiik….ngiiik….ngiiiikkkk….. Selain itu, dia minta didownloadkan konser pemain biola dan lagu-lagu yang ada alunan biolanya. Begitulah gambaran betapa dia saking gandrungnya sama satu alat musik tersebut.

Keesokan harinya, pagi-pagi buta sebelum mata saya terbuka sudah terdengar suara “ngiikk….ngiikkkk….ngiiikkkkk…. Sang putri sudah mengeluarkan biola dari dalam tasnya. Tak ketinggalan sang pangeran mulai usil mencuri-curi kesempatan memegang alat itu jika ditinggal yang empunya. Begitu seterusnya sampai siang hari kami memutuskan untuk pergi makan siang dan ke toko buku. Senja mulai menjelang pada waktu kami tiba di depan rumah. Saya langsung masuk ke kamar sang putri dengan maksud mau merapikan. Sedikit ada rasa kaget karena ada tutup putih kecil ( bagian dari barang kesayangannya) tergeletak di lantai. Tutup tersebut adalah tutup dari alat pembersih (menurut saya) alat penggeseknya.----Karena setahu saya sebelum biola diserahkan oleh sales toko, alat penggeseknya digesekkan terlebih dulu ke alat berwarna putih tersebut. Dan saya kelupaan bertanya. ----- Saya mulai khawatir akan barang kesayangan sang putri. Alangkah terkejutnya kami semua setelah dibuka tasnya terlihat seperti pada foto berikut.


Sang putri pun tak kuasa menahan tangisnya. Saya dan suami berusaha menghiburnya, dan kemudian kami mencoba menganalisa dan menemukan sebabnya. Tapi karena sampai tulisan ini dibuat kami masih belum berhasil menemukannya, maka harapan kami hanya satu, membawanya kembali ke toko semula untuk bisa diperbaiki. Bagaimanakah hasilnya? Silakan ditunggu di tulisan berikutnya : Biola “Pearl River” ( bagian 2) : ……………………….

By : Yunie Sudiro