Selasa, 23 Februari 2010

Masa Depan Ibu Rumah Tangga



Banyak para wanita yang enggan jadi ibu rumah tangga murni karena alasan masa depan (secara ekonomi). Sebenarnya ini juga ada benarnya, karena setiap pengambil keputusan sangat tahu apa saja yang jadi pertimbangannya. Tapi, kalaupun Anda memilih keluar dari pekerjaan dan mau mengabdikan diri untuk mengelola keluarga, tak pelu khawatir akan masa depan. Siapa bilang masa depan ibu rumah tangga itu suram..Semua itu tergantung pada kita. Buat rencana agar masa depan kita cerah..

Memang hidup didunia selalu melibatkan 'kumpulan koin'. Hidup terasa berat kalo kita tak punya cukup uang. Cukup lho yaa..tidak harus banyak...Menurut saya, kalau banyak belum tentu cukup. Ini benar-benar relatif. Dan setahu saya pada dasarnya manusia mempunyai sifat 'selalu kurang'. Makanya meskipun ada yang banyak uang masih terasa kurang, tergantung gimana kita menyikapi sifat dasar tersebut.

Sekarang kita membahas masalah UANG. Bagi yang income nya hanya dari suami. Mulai sekarang daftar semua sumber income jika suami tak ada. Tak ada di sini bisa berarti meninggal (a) atau meninggalkan kita, tapi masih di dunia (b). Jangan berprasangka buruk dulu. "Kok mendoakan suami tak ada.." bukan begitu, siapa sih yang mau berpisah sama suami tercinta....maunya selalu bersama sampai kapanpun.... Namun, kita harus mempertimbangkan semua hal terburuk yang bisa terjadi.

Untuk antisipasi kasus (a); pastikan apakah suami mendapatkan dana pensiun. Dan apakah jumlahnya sudah sesuai dengan kebutuhan bulanan kita? Kalau tidak, berarti kita bisa menambah simpanan dana yang berproteksi. Karena suami yang menjadi tulang punggung keluarga , sebaiknya di awal yang menjadi tertanggung adalah suami kita. Perlu Anda tahu saya bukan sales asuransi lho....

Antisipasi kasus(b): kalau ini yang terjadi antisipasi kasus (a) tak berlaku. Pertama yang dilakukan adalah pengembangan diri. Kita harus siap jika hidup sendiri. Harus 'survive'. Makanya jika menjadi ibu rumah tangga jangan berkutat didapur...atau tenggelam pada rutinitas sebagai 'back (office) support'…..maksudnya masak, nyuci-seterika, ngepel, kalo yang seperti ini bisa dengan mudah kita “out-source” kan ke “housekeeper”(maksudnya : asisten rumah tangga).

Kemudian lakukan pembagian nama aset. Pilih dulu aset yang mudah cair, misalnya: deposito, mobil. Walaupun mobil kita cuma satu, dengan alasan biar kita merasa terjamin, suami pasti mau mengatasnamakan kita. Yang pasti kita juga yang memegang pengarsipannya. Percuma saja semua dokumen atas nama kita jika tidak ada di tangan, atau kita tidak tahu dimana letaknya karena pengarsipan yang tidak teratur. Pemilihan ini sangat membantu kita secara psikologis saat ada 'perang dingin' sama suami.----"aku punya cukup uang, untuk sementara tak tergantung juga bisa.."---- Namanya juga suami-istri, setiap saat selalu bertemu, saling mengkhawatirkan satu sama yang lain. Wajar seandainya ada sedikit salah faham atau selisih pendapat. Yang kita tahu bahwa itu timbul sebenarnya karena saling menyayangi. Selanjutnya, yang paling baik adalah apabila aset yang kita punya bisa dibagi atas nama masing-masing sesuai dengan kesepakatan masing-masing.

Antisipasi tadi bisa juga berguna untuk ibu pekerja yang pendapatannya masih belum cukup untuk hidup sendiri. Dan paling tidak pada saat-saat tertentu anda terhindar dari perasaan 'terpuruk'....Selamat mencoba bagi yang belum pernah memikirkannya.*)By: Yunie Sudiro

Senin, 15 Februari 2010

Constrains



Setiap organisasi yang terbentuk pasti mempunyai tujuan. Pada sebuah keluarga terdapat ciri-ciri organisasi. Sebuah perusahaan juga merupakan suatu organisasi. Dan perusahaan tempat bernaung saya adalah keluarga. Anda pasti ada yang berpendapat: "apa tidak terlalu berlebihan keluarga dianggap sebagai perusahaan?".

Keluarga merupakan kumpulan orang yang dengan sengaja membentuk suatu sistem untuk mencapai tujuan (goal). Saya yakin setiap keluarga mempunyai sederet daftar yang ingin dicapai. Biar lebih gampang seharusnya tujuan keluarga ditetapkan diawal dengan ungkapan yang ringkas. Kok diawal?... Apa ada keluarga yang terbentuk tanpa tujuan? Menurut saya mungkin ada yang belum, misalnya kawin paksa (kalau masih ada) atau yang menikah karena terpaksa... atau belum terpikirkan kemana perahu yang mereka dayung akan berlabuh. Semua itu tidak jadi halangan kalau mereka mau menetapkan tujuan (tidak ada kata terlambat, daripada lebih lama terombang-ambing tanpa tujuan...) Untuk itu diperlukan pengelolaan yang tepat dalam mencapai tujuan akhir dari masing-masing keluarga.

Tiap-tiap keluarga mempunyai aktivitas dalam menjalankan kehidupannya untuk mencapai goal. Aktivitas yang kita jalankan bisa lebih terkendali dan berarti kalau selalu kita sesuaikan dengan tujuan kita. Jadi hidup jangan disia-siakan. Cari aktivitas yang mempunyai nilai tambah. Nilai tambah tak harus dikonversikan ke bentuk Rupiah lho.... Misalnya: menjadi guru les anak kita, kita tidak langsung dapat bayaran, tapi kita bisa mengetahui perkembangan anak pada hal akademis, bisa mengajarinya sesuai konsep kita dan yang jelas menghemat biaya untuk membayar guru les dari lembaga luar.

Dalam bahasan ini dapat dikatakan bahwa ibu rumah tangga harus mempunyai aktivitas yang terarah dan selalu mempunyai target berdasarkan waktu. Dimana aktivitas itu sendiri merupakan bagian dari aktivitas keseluruhan yang harus dilaksanakan oleh semua anggota keluarga.

Semua orang dapat dipastikan selalu mempunyai tujuan yang baik. Sudah dibahas sebelumnya kalau mau mencapai tujuan akan di-breakdown menjadi aktivitas-aktivitas. Masalahnya dalam menjalankan aktivitas tersebut belum tentu dapat dijalankan dengan lancar. Kita kadang akan terkendala batasan-batasan (constrains). Contoh nyata yang sering kita jumpai: maunya menyekolahkan anak di sekolah bagus, batasan yang paling kelihatan adalah biaya. Dan mungkin masih ditemukan batasan-batasan lain pada kasus yang lain pula dimana setiap orang bisa saja mengalami hal yang berbeda-beda.


Dari alasan-alasan di atas dapat muncul pertanyaan bagaimana caranya kita dapat mencapai tujuan "company" kita melalui aktivitas yang terarah dengan memperhatikan semua batasan masing-masing. Inilah yang membutuhkan pengelolaan atau manajemen.*)By: Yunie Sudiro

Senin, 08 Februari 2010

Ketrampilan penunjang pergaulan



Masa kecil saya tinggal di kota setingkat kabupaten. Anda bisa bayangkan fasilitas yang tersedia di kota sekecil itu. Bahkan selama saya mengenyam pendidikan sampai SMA (Sekolah Menengah Atas), jaman sekarang SMU (Sekolah Menengah Umum), saya tidak pernah mendapatkan materi berenang. Hal ini bisa terjadi karena di masa itu tidak ada satupun kolam renang di sana.

Pada waktu itu juga belum ada perguruan tinggi yang memadai. Kalau tidak salah hanya ada dua kampus swasta. Yang satu IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) dan yang satu Universitas dengan jurusan yang terbatas. Yang jelas di sana tidak menyediakan Fakultas Teknik. Makanya pada saat itu, selepas SMA para lulusannya sebagian besar urban ke kota lain. Mereka melanjutkan pendidikan yang dianggap lebih layak, termasuk saya.

Selama kuliah saya bisa menambah pengetahuan seputar life style kota metropolis. Maklum, sebagai mahasiswi, saya adalah anak kos. Jadi hanya bisa mempelajari, tapi tak bisa mengikuti. Saat itu motivasi anak kos seperti saya hanya lulus...dan lulus.. Akhirnya saya lulus tepat waktu dengan predikat yang tidak mengecewakan.

Hanya dengan hitungan bulan saya mendapatkan pekerjaan yang layak. Dan saya memutuskan melepaskan masa lajang. Kuliah sudah, kerja sudah, menikah sudah,... tapi kita sebagai manusia harus mau berkembang. Saya merasa dengan belajar dan menambah pengetahuan bisa membuat kita lebih bernilai. 

Sekarang saya sudah tidak mahasiswi lagi. Tentunya saya akan menghadapi lingkungan yang sangat berbeda. Selain itu saya dan suami sudah mempunyai kesibukan masing-masing yang tak mungkin saling bergantung saat menjalankan aktivitas. Mulailah saya berfikir untuk bisa menyetir sendiri. Tanpa tergantung harus diantar suami (mau membayar driver juga belum mampu) dan saya akan bisa lebih mobile kemana-mana.

Dengan memperhatikan lingkungan sekitar, saya juga memulai belajar ber-olah vokal. Meskipun sampai sekarang kepandaian bernyanyi saya masih terbilang minus, tapi yang penting secara psikologis jauh lebih percaya diri saat hang out bersama teman-teman di karaoke. Saya juga memperdalam Bahasa Inggris dan belajar berenang, meski berbicara dalam Bahasa Inggris saya masih jauh dari kata sempurna dan hanya bisa berenang gaya dasar, yaitu gaya katak (yang penting bukan gaya anak sungai, atau lebih parah : gaya batu..!). Sementara sampai saat ini ketrampilan tambahan tersebut sangat mendukung  dalam bergaul dengan teman-teman saya dan memperluas pergaulan di lingkungan sekitar saya.

Kebutuhan akan teman dan saling berinteraksi ini mengingatkan kita pada hirarki kebutuhan dari Teori Maslow. Teori ini telah menyusun kebutuhan menjadi suatu hirarki. Dimana setiap orang akan memenuhi kebutuhannya dari hirarki yang paling rendah dan akan otomatis meningkat untuk memenuhi kebutuhannya yang lebih tinggi.

Hirarki Kebutuhan dari Maslow (Maslow’s Need Hierarchy), secara berurutan adalah sebagai berikut:

  1. Fisiologis.
  2. Keselamatan dan keamanan (safety and security).
  3. Rasa memiliki (belongingness), sosial dan cinta.
  4. Penghargaan (esteems)
  5. Realisasi diri (self actualization)


Kita sebagai manusia tidak akan pernah merasa puas dalam memenuhi kebutuhannya. Salah satu teori tentang kepuasan adalah hirarki kebutuhan dari Maslow. Pada hirarki ke 3 (tiga) disebutkan bahwa jika kebutuhan akan fisiologis, keselamatan dan keamanan sudah terpenuhi, maka kita akan berusaha memenuhi kebutuhan akan rasa memiliki, sosial dan cinta. Hal ini termasuk kebutuhan akan teman dan interaksi. Menambah ketrampilan dapat  menunjang kita dalam memperluas pergaulan.*)By: Yunie Sudiro


Referensi:
Gibson; Ivancevich; Donnely (1993); Organisasi dan Manajemen: Perilaku, Struktur, Proses; Edisi keempat; Penerbit Erlangga; Jakarta