Senin, 31 Mei 2010

Trans Semarang

“Ma.., kapan naik busway?”, tanya anak saya pada suatu hari. Busway yang dimaksud adalah BRT (Bus Rapid Transport) yang ada di Semarang alias Trans Semarang. Dia selalu teringat akan hal itu setiap kali melewati shelter. Sudah setahun kehadiran alat transportasi ini di kota Semarang, tapi kami belum sempat mencobanya. Karenanya saya ingin segera mengajaknya untuk naik bis tersebut. Kebetulan keesokan harinya adalah hari libur nasional, tanggal 28 Mei 2010.



Gambar 1: Trans Semarang

Matahari mulai terbit, kami sekeluarga mulai menyiapkan diri untuk pergi sekedar berkeliling dalam kota Semarang naik Trans Semarang. Dari rumah kami mengendarai mobil sampai mall Ciputra-Simpang Lima. Waktu itu masih jam 09.30 WIB, tapi sudah mulai ada aktivitas di lingkungan mall. Suasana parkir masih lengang, hanya ada beberapa mobil yang sudah parkir. Dengan mudahnya kami mendapatkan tempat parkir, padahal biasanya agak siang sedikit mencari parkir di mall daerah Simpang Lima amat susah.

Kami berjalan menyusuri trotoar depan mall. Tepat depan antara mall Ciputra dan hotel Ciputra terdapat shelter BRT. Di pintu masuk kita dapat melihat daftar shelter dimana BRT akan berhenti. Saat itu kami memutuskan untuk mencoba berkeliling dengan rute Simpang Lima-Terminal Penggaron.



Gambar 2: Salah Satu Shelter BRT

Adapun daftar shelter yang disinggahi oleh BRT berdasarkan pengumuman yang ada di shelter Simpang Lima adalah sebagai berikut:


Gambar 3: Daftar Shelter BRT

Sebelum duduk di tempat tunggu yang telah disediakan kami harus membeli tiket. Tiket BRT seharga Rp 3.500 untuk umum dan Rp 2.000 untuk pelajar. Bagi yang membawa anak-anak akan ditanya petugas, apakah anaknya duduk sendiri atau dipangku. Jika duduk sendiri akan dikenakan tarif yang sama.



Gambar 4 : Tiket

Ada beberapa calon penumpang sudah menunggu di sana. Setelah mendapatkan tiket kami ikut bergabung dengan mereka. Tak berapa lama datang satu unit BRT, tapi tujuannya ke terminal Mangkang, bukan terminal Penggaron. Saat itu petugas menginformasikan BRT dengan tujuan terminal Penggaron datang setelah itu. Baru saja petugas mengakhiri ucapannya, tampak datang BRT yang dimaksud.

Dengan semangat kami memasuki pintu bis. Di dalam sudah banyak penumpang. Meskipun begitu masih ada tempat duduk untuk kami. Sejuk yang terasa oleh saya saat masuk ke dalamnya. Saya berusaha mengamati suasana dalam bis. Saya memberi nilai A plus untuk alat transportasi ini. Bis tampak bersih, AC berfungsi dengan baik dan pelayanan yang baik. Saya sempat berfikir, jika suatu saat saya sedang malas nyetir dan kesiangan pergi ke mall daerah Simpang Lima (takut susah dapat parkir) saya bisa memanfaatkan BRT. Intinya --- bisa di ulang, tidak jera.....----



Gambar 4: Suasana Di dalam Bis Jurusan Terminal Penggaron

Semua penumpang terlihat sangat menikmati perjalanan. Shelter demi shelter bis berhenti untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Sampai pada akhirnya bis berhenti di terminal Penggaron. Kami langsung menuju bangunan shelter yang tersedia. Kami berniat langsung kembali lagi ke shelter semula saat berangkat, yaitu simpang lima. Tampak BRT jurusan Mangkang sudah menunggu calon penumpang. Kami bergegas membeli tiket dan langsung masuk ke dalam bis. Tak berapa lama kemudian bis sudah melaju. Para penumpang jurusan ini juga tampak menikhmati perjalanan. Perjalanan begitu lancar dan kami tiba di shelter Simpang Lima lagi.



Gambar 5: Suasana Di dalam Bis Jurusan Terminal Mangkang

Calon penumpang di shelter tersebut tampak lebih ramai dari pagi sebelumnya. Kami segera meninggalkan shelter dan menuju ke mall Ciputra. Seperti biasa, saya menyempatkan diri untuk window shopping..... Semoga belum ada barang yang cocok..., biar tidak boros...he..he.. Sayangnya, saya tergoda untuk membeli sebuah clutch ...


Memperkenalkan lingkungan pada anak merupakan salah satu tugas kita sebagai orang tua. Membawa anak-anak kita keluar rumah dan mengajaknya berkeliling mengendarai angkutan umum merupakan bagian dari cara kita memperkenalkan lingkungan. Selain itu, dengan mengetahui adanya angkutan umum yang memadai dapat dijadikan alternatif trasportasi keluarga yang lebih hemat daripada kendaraan pribadi.*) By: Yunie Sudiro.

Sabtu, 29 Mei 2010

The Broken Violin part II

Malam telah larut, kami tak sabar menunggu hari esok. Berbagai spekulasi kami munculkan. Mulai dari harapan optimistis sampai yang pesimistis. Namun kami harus dapat meredam perasaan yang telah berkecamuk, .....................................................................hingga pagi tiba.

Sang putri sudah terlihat lebih tegar setelah bangkit dari tempat tidurnya. Sang putri sudah mulai bisa tersenyum menyambut rutinitas. Meski masih saja menanyakan kapan benda kesayangannya akan dibawa ke toko untuk diperbaiki. Saya dan suami telah menyanggupinya hari itu akan ditanyakan ke toko.

Detik demi detik berlalu, jam menunjukkan pukul 10.00. Kami sudah parkir di depan toko. Bergegas kami membawa benda kesayangan sang putri ke dalam toko. Tanpa banyak basa-basi saya langsung mengemukaan permasalahan kami pada pegawai toko. Eh.....tanpa dinyana, tanpa disangka, ternyata sebab dari kekacauan biola adalah patahnya kayu kecil pengait antara tempat senar dan body nya.
Maklum, sebelumnya kami sekeluarga tidak pernah pegang biola... Karena itu, penyelesaiannya hanya mengganti kayu kecil tersebut. Cuma herannya para pegawai toko di sana adalah kepatahan yang terjadi. Karena selama ini belum ada yang mengalami "patah", tapi lepas. Apalagi umur biola baru 1 (satu) minggu. Menurut analisa mereka ada 2 (dua) kemungkinan :
(1) Saat menaruh pada tempatnya tidak pas sehingga tertekan di dalam tasnya, dan akhirnya patah
(2) Saat menaruh pada tempatnya tidak memegang body biola tapi tempat senarnya. Analisa ini sangat membantu kami untuk lebih tahu tentang perlakuan sebuah biola.

Tidak begitu lama kami menunggunya. Hanya sekitar 30 menit biola sudah seperti sediakala. Di samping itu biayanya juga sangat murah untuk ukuran umum.

Tak terasa hari sudah sore. Waktunya saya menjemput sang putri di sekolah. Wajah sang putri begitu riang saat keluar dari pagar sekolah. Mungkin dia merasa lega karena pelajaran telah usai. Tanpa kata dia duduk di jok depan. Dan tanpa dia sadari telah bertengger sebuah biola di jok belakang. Saya langsung mengejutkannya dengan menyuruhnya menoleh ke belakang. "Biolanya bisa diperbaiki, Ma?" sahut sang putri kepada saya. Wajah dengan senyumnya tak bisa menyembunyikan rasa senangnya.

Sesampainya di rumah, sang putri langsung memeriksa barang kesayangannya. Dan tak lupa memainkannya. Kali ini sudah tidak terdengar ngiikk...ngiik.. lagi. Yang tertangkap telinga saya adalah, do.., re..., mi..., fa..., sol..., la...., si.... Setelah kejadian itu, sang putri minta biolanya ditaruh jauh dari jangkauan anak-anak. Dia sendiri kalau mengambil harus naik ke atas kursi.

Dan les berikutnya sang putri sudah dapat membawa biolanya kembali. Dia sudah mulai belajar Twinkle-Twinkle Little Star, Lightly Row dan Ibu Kita Kartini. Semoga dia akan terus bersemangat latihan untuk lagu-lagu lainnya yang lebih kompleks.

By: Yunie Sudiro

Sabtu, 08 Mei 2010

Pendidikan dan Ibu Rumah Tangga


Pada kondisi modern seperti sekarang, gejala kanca wingking pun menggejala. Bedanya, pada era kartini kondisi itu diciptakan pihak luar (suami), pada era modern justru wanitalah yang lebih memosisikan diri menjadi kanca wingking. (suara merdeka, hal 19 tanggal 21 april 2010).

Pernyataan tersebut membuat penulis tergelitik untuk membahasnya lebih lanjut. Sebelumnya saya akan mencoba mengartikan maksud dari kanca wingking. Menurut saya yang dimaksud kanca wiking adalah bukan teman sejajar, yang dianggap hanya sebagai pelengkap dan berperan hanya di belakang layar. Karena hanya pelengkap, yang dikerjakan juga tidak menyangkut hal-hal yang proritas di dalam suatu rumah tangga. Selain itu juga tidak selalu dilibatkannya dalam mengambil keputusan-keputusan penting di dalam rumah tangga tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa wanita disebut kanca wingking karena tidak berkesempatan untuk engekspresikan diri dan atau berpartisipasi di masyarakat. Pada akhirnya mereka menikah dan berdiri di balik keberadaan laki-laki.

Saat ini ada 2 (dua) status pekerjaan bagi wanita, yaitu wanita pekerja dan Ibu Rumah Tangga. Meskipun sebenarnya setiap wanita yang berkeluarga juga harus mengemban tugas sebagai Ibu Rumah Tangga. Pekerjaan Ibu Rumah Tangga bagi wanita yang bukan kanca wiking harusnya bisa mengatur rumah tangga dengan baik karena suami lebih focus pada perolehan nafkah. Mengatur rumah tangga bukan berarti secara keseluruhan harus dikerjakan sendiri. Untuk pekerjaan yang tidak memerlukan pemikiran masih bisa dialihkan kepada pekerja rumah tangga. Hal ini dimaksudkan supaya ibu rumah tangga lebih mengutamakan pada hal-hal konseptual dan jika memungkinkan masih bisa berkarya walaupun tidak di luar rumah.

Terbentuknya suatu keluarga merupakan terbentuknya suatu organisasi. Dimana organisasi tersebut mempunyai tujuan yang dituangkan dalam pembagian pekerjaan dan tanggung jawab. Pembagian dan stadarisasi pencapaiannya tergantung dari kesepakatan para pelaku organisasi, yaitu para anggota keluarga. Meskipun biasanya pembagian pekerjaan dan tanggung jawab ini berdasarkan teori yang diajarkan semenjak kita di sekolah dasar. Di sana selalu diajarkan bahwa tugas utama ibu adalah mengurus rumah dan tugas utama bapak adalah mencari nafkah. Menurut saya mengurus rumah di sini adalah mulai dari pengelolahan keuangan, pengaturan pembelanjaan, operasional rumah, mengurus anak, sampai mengurus suami. Dengan begitu terlihat bahwa suami dan istri merupakan suatu partner, tidak ada yang di depan atau di belakang. Masing-masing akan mempunyai peran penting dalam kelangsungan suatu rumah tangga.

Begitu banyak tanggung jawab yang diemban seorang ibu rumah tangga. Dari sisi keuangan harus membuat anggaran dan mengevaluasinya. Operasional rumah dapat meliputi penyediaan makanan, kebersihan rumah dan menyiapkan perlengkapan pendukung harian. Mengurus anak meliputi pertumbuhan, kesehatan dan pendidikannya. Mengurus suami adalah peran wanita sebagai pendamping termasuk menyumbangkan pikiran bila diperlukan. Mereka pasti dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan lebih baik jika didukung pengetahuan yang memadai. Untuk itu tingkat pendidikan seorang ibu rumah tangga dapat mempengaruhi setiap langkah yang diambil dalam melaksanakan tugasnya. Semakin mampu seorang ibu rumah tangga dalam melaksanakan tugasnya, perannya semakin diakui. Hal ini dapat menghindarkan wanita dianggap sebagai kanca wingking. Ironisnya menurut tulisan saudari Siti Muyassarotul Hafizoh (suara merdeka, hal 19 tanggal 21 april 2010) masih ada 70% wanita yang buta huruf.

Pada masa sekarang banyak saya jumpai mulai banyak wanita yang telah keluar dari pekerjaan di luar rumah setelah mempunyai momongan atau karena sebab lain. Dan banyak juga yang memulai aktivitasnya kembali setelah mereka anggap perlu. Di era sekarang, wanita dengan pengetahuannya semakin mengerti akan posisinya sebagai ibu rumah tangga. walaupun kenyataannya ada juga yang masih belum memahaminya. Jika semua para wanita Indonesia menyadari akan pentingnya ilmu pengetahuan baginya, maka perannya sangat dapat membantu untuk menjaga kualitas anak bangsa yang akan menjadi penerus bangsa ini.


By: Yunie Sudiro.